Ceritanya saya mau curhat tentang hari-hari pertama saya sebagai seorang istri. Sewaktu saya masih pacaran dengan si partner, saya ingin cepat-cepat mengurus dia. Karena saya geregetan kalau bangunkan dia untuk berangkat kerja atau kalau dia makan sembarangan. Serba tidak teratur, kurang lebih seperti itu si partner sewaktu single. Niatnya sih kalau sudah menikah, saya akan belajar untuk mengurus dia, jadi dia lebih terawat . Nah, sampailah pada saat dimana kami hidup serumah. Sesuai niat saya, saya melakukan tugas sebagai istri; menyiapkan sarapan untuk dia, membangunkannya (kali ini lebih mudah karena tidak denganhandphone), menyiapkan seragam kerjanya termasuk memelihara kebersihan rumah. Ada sebuah lelucon yang bilang kalau menikah adalah harga termahal yang dikeluarkan pria untuk mendapatkan seorang pembantu. Lelucon itu ada benarnya karena pekerjaan asisten rumah tangga seperti mencuci, menyetrika, menyapu termasuk kepada tugas kepala rumah tangga alias seorang istri. Dan saya tidak keberatan untuk melakukannya. Sebenarnya apa yang saya lakukan tidak jauh berbeda ketika saya tinggal di kostan, yang membedakan adalah saat ini saya bertanggungjawab terhadap suami saya.
Saya menikmati peran saya sebagai seorang istri. Namun ada saat di mana saya ingin menangis karena setelah 3 jam bertarung dalam perjalanan pulang kerja, setumpuk baju menunggu untuk diseterika, setumpuk piring menunggu untuk dicuci dan lantai yang menyeringai minta dibersihkan. Belum lagi kalau saya harus menyiapkan makan malam untuk si partner (beruntung si partner hampir tiap hari lembur, jadi selalu makan di kantor). Pernah ada saat saya dan partner sama-sama sakit. Meskipun sakit, saya harus merawat dia. Karena kami hanya tinggal berdua, siapalagi yang akan merawat partner kalau bukan saya (seperti iklan sebuah produk )? Sebenarnya sih partner bukan tipe suami yang rewel, dia bahkan selalu menawarkan diri untuk membantu saya menyelesaikan pekerjaan rumah saya. Tapi buat saya, suami itu harusnya duduk santai sambil minum teh atau kopi.
Menjadi seorang istri selama beberapa hari membuat saya tersadar bahwa pekerjaan seorang istri tidak dapat diremehkan. Teringat dulu akan Bunda saya yang sepulang kerja langsung melakukan pekerjaannya sebagai ibu. Saya tidak pernah melihat Bunda mengeluh saat harus melayani Ayah. Ah, apa yang saya lakukan ini tidak ada apa-apanya dibandingkan beliau. Karena itu, saya akan belajar banyak dari Bunda agar ikhlas melakukan pekerjaan seorang istri. Beberapa hari ini saya mendapatkan poin penting yang menjadi pegangan saya; bahwa seberapapun lelahnya saya, kalau saya niat dan ikhlas, pasti saya bisa menyeterika tumpukan pakaian itu ! Memang benar kata orang, meskipun fisik wanita lebih lemah daripada pria tapi sebenarnya ia lebih kuat daripada lelaki. Target awal saya sebagai seorang perempuan, saya harus lebih kuat untuk suami saya, karena insya Allah saya akan melayani dia sepanjang hidupnya. Tahap selanjutnya, saya akan menjadi kuat demi anak-anak saya. Hmm, semoga Allah membimbing saya menjadi istri yang soleha. Bismillah .